Syarat dan Adab Mufassir

Syarat dan Adab Mufassir

  1.   Definisi Tafsir dan Mufassir

            Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,

وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.

            Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[1]

            Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:

علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه

“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”[2]

            Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:

علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد. 

“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[3]

            Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:

علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية

“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

            Oleh Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:

            Maksud kata ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi (tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakannya –bahkan semuanya— termasuk pengetahuan secara lafal. Sayid berpendapat bahwa tafsir termasuk  legalisasi  (tashdîqât) karena mencakup hukum atas lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-makna terkait yang disebutkan dalam tafsir.”  

            Dengan perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.  

            Dengan perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya. Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang membahas keadaan Al-Quran Al-Karim dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.

            Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk pembahasan dari ilmu kalam Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk pembahasan dari ilmu fikih. 

            Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.[4]

            Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang: 

المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.

“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.” [5]

  1. B.     Syarat-Syarat Mufasir

Sebagaimana yang kita maklum, bahwa Al Qur’an adalah kitab pedoman hidup Al Qur’an (the way of life). Keterbatasan bahasa Al Qur’an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan memahami Al Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban setiap umat muslim, namun menafsirkan kandungan ayat Al Qur’an, tidak semua orang diperbolehkan melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal Praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir.

  1. Syarat-syarat dari aspek kepribadian

Mufasir adalah kunci pemahaman umat muslim terhadap Al Qur’an. Yang mana kandungan ayat Al Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam, baik akidah, akhlak, syariah, ibadah dan sebagainya. Menjadi seorang mufasir sama halnya mengemban amanat yang berat dari seluruh umat muslim. oleh karena itu, seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia dan nilai-nilai ruhiyah yang luhur dalam menyingkap hakikat-hakikat makna ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Akidah yang benar.

Akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya, dan sering kali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.

  1. Tidak mengikuti hawa nafsu

Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada paham subjektifnya sekalipun salah dan menolok yang lain, meskipun yang ditolak itu benar.

  1. Berniat baik dan bertujuan benar

Seorang mufasir menafsirkan al Qur’an didasarkan atas iklas dan mengharap ridho Allah, tidak mengharap kemulyaan dan kehormatan atau kewibawaan.

  1. Berahlak mulia

Mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.

  1. Tawadhu dan lemah lembut

Kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.[6]

  1. Aspek Intelektual

Syarat yang berkaitan dengan aspek intelektual yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.

                  Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

  1. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
  2. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
  3. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
  4. Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
  5. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
  6. Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.

            Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.

  1. Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
  2. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
  3. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth
  4. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
  5. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
  6. Fikih.
  7. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
  8. Ilmu muhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.[7]

Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[8], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 

  1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
  2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.    
  3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
    1. C.    Adab Mufasir

            Yang dimaksud adab mufasir di sini adalah adab mufsir dalam menafsirkan Al Qur’an. Para ulama berkata, “Barangsiapa hendak menafsirkan kitab yang mulia maka pertama kali dia mencarinya dari al-Qur’an. Sesungguhnya yang dijelaskan secara global pada suatu tempat maka akan ditafsirkan pada tempat yang lain. Apa yang diringkas pada suatu tempat akan dijelaskan secara luas pada tempat yang lain (mujmal)”. Jika suatu penjelasan tidak ditemukan pada ayat yang lain di dalam al-Qur’an, maka dapat dicari dalam sunnah. Sesungguhnya sunnah merupakan syarah terhadap al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam sunnah, maka dapat merujuk kepada perkataan para sahabat. Sesungguhnya mereka lebih memahami terhadap situasi dan kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an.

            Menurut az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan sebagaimana yang dikutip oleh as-Suyuti dalam al-Itqan fi Ulumil Qur’an, bagi seseorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus memiliki banyak referensi. Pada dasarnya terdapat empat referensi paling utama dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu: pertama, riwayat dari Rasulullah. Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan juga kualitas riwayat tersebut.

            Kedua, perkataan seorang sahabat. Perkataan sahabat memiliki kedudukan tafsir yang sama dengan marfu’ kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dikatakan al-Hakim dalam kitab al-Mustadraknya. Merujuk pada riwayat sahabat ini khusus pada penjelasan tentang sabab an-nuzul dan semisalnya. Sementara, merujuk pada pendapat tabi’in masih diperdebatkan para ulama.

            Ketiga, mengambil kemutlakan bahasa. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Maka dari itu, dalam menafsirkan al-Qur’a, harus berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa Arab.

Keempat, tafsir dengan petunjuk makna pembicaraan dan pemahaman yang baik dari sisi kekuatan syari’at.

 

 

  1. D.    Analisis

Menafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])

            Orang yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini; bukan malah berani membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam.

            Syarat dan adab bagi mufassir dapat diibaratkan seperti lampu lalu lintas yangmana hal tersebut dibentuk agar terhindar dari bahaya. Begitu juga dengan menafsirkan, adanya syarat- syarat di atas guna menghindari dari penafsiran yang menyimpang, meskipun pada dasarnya memang penafsiran bukanlah perkara salah atau benar namun tepat atau tidak. Karena, menafsirkan suatu ayat itu berarti memahami kandungan ayat tersebut dengan pemahaman dan kemampuan masing- masing yang berbeda. Adanya perbedaan kemampuan intelektual juga tentu sangat berpengaruh terhadap hasil penafsiran, sehingga hasil penafsiran juga berbeda satu sama lainnya.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. A.    Kesimpulan

Seorang mufasir wajib untuk senantiasa melakukan pemadanan dengan yang ditafsirkan di dalam tafsirnya dan selalu berusaha menghindarkan diri dari segala kekurangan dalam menjelaskan maknanya atau menghindari tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan menjaga sesuatu yang ditafsirkannya dari penyimpangan makna dan beralih dari maknanya. Dia harus menjaga makna yang hakikat dan yang majaz serta menjaga metode penulisan dan tujuan dari konteks kalimat. Dia harus berusaha mendekatkan antara kosakata-kosakata. Dia harus mulai dengan menjelaskan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kosakata. Pertama kali yang harus dilakukan adalah melakukan penyelidikan kosakata-kosakata dalam keadaan berdiri sendiri. Kemudian dia berbicara tentangnya dari sisi bahasa, kemudian tashrifnya, kemudian asal akar katanya. Setelah itu dia berbicara tentangnya dari segi kalimat. Dia memulai dengan menjelaskan I’rabnya. Kemudian dia menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, kemudian menjelaskan makna yang dikehendaki, melakukan istinbath dan menjelaskan isyarat-isyaratnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Qaṭṭān, Mannā` Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2011.

ar-Rumi, Fahd bin Abdirrahman. Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Titian Ilahi. 1996.

Suyuthi, Imam. al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Solo: Indiva Media Kreasi. 2009.

Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245

As-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu a-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran a-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.


[1] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 5

[2] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I hal. 13.  

[3] Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6

[4] Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6

[5] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.

[6] Mannā` Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an terj Mudzakir, Cet. 14 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm. 465-466; lihat juga : Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur`an terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), hlm. 219-220.

 

[7] Imam Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an terj. Tim Editor Indiva (Solo: Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 909-912.

 

[8] Silakan lihat: Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245

ayat tentang perempuan

Ayat Tentang Perempuan

  1. 1.      Q.S. An Nisa’: 1

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا

وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

 

  1. a.      Tafsir Mufradat

النَّاسُ                       : Manusia., adalah bentuk jama’ dari kata Insan.

اتَّقُوا رَبَّكُمُ                  : Takutlah kalian dari siksa Allah dengan cara mengikuti perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ            : Dari jiwa yang satu, yaitu dari Adan Alaihissalam.

وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا        : Menciptakan Hawa dari Adam, yaitu dari tulang rusuknya.

وَبَثَّ                         : Menyebarkan di muka bumi anak keturunan dari mereka berdua, baik laki- laki maupun perempuan.

تَسَاءَلُونَ بِهِ                : Memohon kepada-Nya seperti jika seorang berkata kepada saudaranya, “Aku memohon kepadamu atas nama Allah agar kamu melakukan sesuatu untukku.”

وَالأرْحَامَ                   : bentuk jama’ dari kata Rahm. Maksudnya, bertakwa kepada Allah dengan selalu menjain hubungan silaturrahim dan tidak memutuskannya.

رَقِيبًا                                    : Yang mengawasi dan yang Maha mengetahui.[1]

  1. b.      Asbabul Nuzul

Sejauh ini dalam literatur yang penulis baca belum terdapat keterangan mengenai sebab diturunkannya ayat ini.

  1. c.       Tafsir Ayat

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ menurut Abu Ja’far maksud ayat tersebut perintah bagi manusia untuk tidak menyalahi perintah dan larangan Allah yang jika mereka melakukannya maka akan mendapatkan hukuman dariNya yang tidak akan mampu mereka tanggung.

الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ yang dimaksud adalah Adam.[2] Dalam ayat ini memang tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam, begitu juga dengan Hawa.[3] Berbeda dengan Riffat Hasan menurut dia Adam di sini merupakan bahasa Ibrani yang berasal dari kata ‘Adamah yang berarti tanah. Munculnya sikap dan pandangan umat Islam bahwa Adam adalah ciptaan Tuhan yang pertama dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, itu berasal dari Injil.

Sependapat dengan Riffat Hasan, Amina Wadud Muhsin membahas ayat dengan melihat komposisi bahasa dan teks kata per kata. Dengan melihat kata nafs tersebut mengandung makna netral, bisa menunjukkan pada laki- laki dan juga bisa menunjukkan perempuan. Begitu juga dengan kata zauj di sini tidak secara khusus menunjukkan laki- laki ataupun perempuan.[4]

Sedangkan yang dimaksud مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ adalah seorang lelaki.                                                                                                                           

وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا ini ditafsirkan oleh Abu Ja’far bahwa Allah menciptakan dari jiwa yang satu itu zauj-nya. Kata az-zauj artinya sosok yang kedua bagi jiwa yang satu itu, dan menurut ahli ta’wil adalah istrinya yaitu Hawa.[5] Sedangkan mengenai lafad مِنْهَا di sini menurut ar Razi, mengutip pendapat al Asfahani memeknainya bukan “dari Adam” namun berarti “dari jenisnya” yang sama dengan asal Adam.[6]

وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً maknanya adalah Allah memperkembangbiakkan dari keduanya (Adam dan Hawa) laki- laki dan perempuan yang banyak, yang telah dilihat oleh Allah.[7] Firman Allah مِنْهُمَا maksudnya dari Adam dan Hawa. Mujahid berkata, “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,

خلقت المراءة من ضلع عوجاء

“Wanita diciptakan dari tuang rusuk yang bengkok”[8]

وَاتَّقُوا اللَّهَ adapun ta’wilnya yaitu “ wahai manusia, yang apabila sebagian dari kalian meminta kepada sebagian yang lainnya, maka dia akan meminta dengan mempergunakan nama-Nya. Orang yang meminta itu dengan berkata “ Aku memintamu dengan nama Allah”.

الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ ada yang menafsiri bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kalian saling menyayangi, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah sebuah ucapan “aku memohon kepadamu (mempergunakan) nama Allah dan (dengan hubungan) silaturrahim”. Sebagian yang lain juga mengartikan “Takutlah kalian memutus (hubungan) silaturrahim”.dari Abu Ja’far sendiri mengartikan potongan ayat ini dengan “Takutlah kalian kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta, dan takutlah kalian untuk memutus hubungan silaturrahim”. Itu karena lafad وَالأرْحَامَ di athof-kan kepada nama Allah dari sisi i’rab-nya yang berharakat nashab.

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Allah senantiasa mengawasi kalian, lafad عَلَيْكُمْ di sini yang dimaksud adalah manusia. Sedangkan رَقِيبًا bermakna Maha Memelihara, Maha Memperhitungkan amal perbuatan kalian, dan Maha Mmencermata pemeliharaan serta pembinaan kalian terhadap keagungan silaturrahim, atau pemutus dan penyia- nyiaan kemuliaannya.[9]

  1. d.      Kontekstual Ayat

Sebagaimana terdapat dalam al Qur’an bahwasannya di hadapan Allah semua manusia itu sama, baik laki- laki maupun perempuan yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan mereka. Namun di sisi lain terdapat beberapa ayat dalam al Qur’an pula yang secara tekstual seolah- olah lebih mengunggulkan laki- laki daripada perempuan. Hal ini mungkin terkadang mengacaukan pemahaman.

Namun sebenarnya dalam memahami teks ini harus diiringi dengan pemahaman secara kontekstual historis yang terjadi. Turunnya beberapa ayat yang merendahkan perempuan dilatarbelakangi adanya sejarah historis pada waktu itu yangmana perempuan memang sangat dianggap rendah.

Dari Q.S An Nisa’: 1 ini dapat dipahami bahwa baik laki- laki maupun perempuan memiliki fungsi timbal balik di antara keduanya. Misalnya dalam hal berkeluarga laki- laki berfungsi untuk memberikan nafkah bagi perempuan, sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumah, yangmana hal tersebut juga diperlukan demi kebaikan kelangsungan keluarga.

 

  1. Q.S. an-Nisa:32

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Terjemah

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

a)      Asbabun nuzul

Dalam tafsir ath-Thabari disebutkan sebuah riwayat  bahwa Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’ammil menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata: Ummu Salamah berkata: “wahai Raulullah SAW, kami tidak dapat memberi warisan dan kami tidak dapat ikut berperang di jalan Allah sehingga kami dapat membunuh (musuh)?”Lalu turunlah ayat ini.[10]

Sedang dalam riwayat lain disebutkan : Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’awiyyah bin Hisyam menceritakan kepada kami dari Sufyan ats-Tsauri, dari Ibnu abi Najih dari Mujahid ia berkata: Ummu salamah berkata “wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang, sementara kami tidak. Kami juga hanya mendapat warisan setengah?” Lalu turunlah ayat ini.

b)     Tafsir mufrodat

وَلَا تَتَمَنَّوْا: kemauan dan hasrat untuk mencapai sesuatu. Jika kemauan ini disertai dengan harapan agar sesuatu yang diinginkan tersebut berpindah dari tangan orang lain ke dia, maka inilah yang disebut hasad.

مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ: apa yang Allah ta’ala anugerahkan kepada salah seorang diantara kalian, baik berupa ilmu pengetahuan, harta, kehormatan maupun kekuasaan.

نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا : balasan pahala dan azab sesuai dengan ketaatan dan kemaksiatan.[11]

c)      Tafsir ayat

Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan bahwa lafal “وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ” menurut Abu Ja’far maknanya adalah janganlah kamu iri dengan kelebihan yang telah dikaruniakan allah SWT kepada sebagian dari kamu. Abu ja’far menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan kepaada wanita-wanita yang menginginkan kedudukan kaum lelaki, dengan harapan mendapatkan apa yang diperoleh kaum lelaki tersebut.  Oleh karena itu, Allah SWT melarang hambanya untuk berandai-andai tentang sesuatu yang batil, dan memerintahkan mereka agar meminta karuniaNya, karena berandai-andai dapat menimbulkan sifat iri, dengki dan terjerumus kedalam hal-hal tidak benar.[12] Sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kamu berangan-angan memperoleh derajat yang diberikan secara khusus oleh Allah kepada orang lain.[13]

Para ulama berpendapat apakah ghibthah (iri yang baik) termasuk dalam larangan ini, yaitu seseorang yang seseorang yang berkeinginan agar keadaanya seperti saudaranya dengan tanpa ada harapan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya.  Tetapi jumhur ulama termasuk Imam malik membolehkan ghibthah.[14]

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْن

Abu ja’far berkata bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah “kaum lelaki mendapat bagian dari Allah SWT berupa pahala dan siksa atas apa yang mereka lakukan, sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang telah meraka perbuat. Begitu juga kaum wanita.[15]

وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ mintalah taufiq (kesesuaian keinginan kita dengan kehendak Allah) dalam amal yang diridhaiNya. [16]

 إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

            Abu ja’far berkata maknanya adalah, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hambaNya berkaitan dengan kebaikan yang Dia bagikan kepada mereka, dengan mengangkat derajat sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dalam urusan dunia dan agama, dan hal-hal lainya dari ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapanNya pada mereka. Dia Maha Mengetahui semua janganlah kalian mengangan-angankan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kalian, melainkan hendaknya kalian taat kepadaNya, menerima ketentuanNya, ridha dengan ketetapanNya, dan tetap memohon karuniaNya. [17]  

d)     Konteks sosial ayat

Pada surah an-Nisa ayat 32 ini hubungan ayat dengan konteks sosial salah satunya yaitu berkaitan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Imam Syafi’i beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang setara dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi sosial yang sama. Sama-sama bisa melakukan pekerjaan apa saja asalkan dia mempunyai kemampuan dan kapabilitas untuk itu. [18]

Allah menciptakan segala sesuatu dengan kodrat. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrat sendiri-sendiri, keduanya memiliki perbedaan, minimal perbedaan dari segi anatomi biologis. Surah An-Nisa ayat 32 diatas mengisyaratkan bahwa pada diri manusia, laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik-karakteristik yang dianugerahkan kepada Allah, dimana laki-laki tidak boleh mengirikan karakteristik yang dianugerahkan pada perempuan, begitupun sebaliknya. [19]

Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa antara laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai keistimewaan dan kualitas pribadi yang bisa melebihi satu sama lain. Keistimewaan dan kualitas pribadi ini bisa dianugerahkan Allah kepada siapa saja yang mau mengusahaknya dengan sungguh-sungguh.[20]

  1. Q.S. At-Taubah:71

tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcDù’trâßƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9šcqè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qߙu‘ur 4 y7Í´¯»s9’ré& ãNßgçHxq÷Žzy™ ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ    

Artinya:  dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

1)      Asbabun Nuzul

2)      Penafsiran Kata Kunci

öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/

mereka adalah penolong sebagian yang lain

šcDù’trâßƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$#

mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf , mencegah dari yang mungkar. Yakni meganjurkandan menyuruh orang lain untuk beribadah kepada Allah. Mencegah dan melarang orang lain menyembah behala dan segala perbuatan yang mengiringi hal itu

cqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨“9$#

 mendirikan shalat, menunaikan zakat yakni  menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan sholat yakni sholat lima waktu dan zakat adalah zakat yang wajib namun menurut penafsiran Ibnu Athiyyah yang di maksud sholat adalah sholat sunnah karena orang yang mendirikan sholat sunnah pasti tekun sholat wajibnya

šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qߙu‘ur  

Taat kepada Allah adalah menaati segala perintah yang diwajibkan oleh-Nya melalui AL-Qur’an, sedangkan taat kepada Rasulnya yakni taan kepada titahnya melalui sabda Beliau

 

NßgçHxq÷Žzy™ : akan secepatnya dimasukan kedalam janji  pemberian rahmat, janji Allah pasti dipenuhi

3). Penafsiran Ayat

Ayat sangat berhubungan dengan ayat selanjutnya yakni surah AT-Taubah ayat 72 yakni

y‰tãur ª!$# šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur ;M»¨Zy_ “̍øgrB `ÏB $ygÏGøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù z`Å3»|¡tBur Zpt6ÍhŠsÛ †Îû ÏM»¨Zy_ 5bô‰tã 4 ×bºuqôÊ͑ur šÆÏiB «!$# çŽt9ò2r& 4 y7Ï9ºsŒ uqèd ã—öqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÐËÈ  

72. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.

ayat ini menggambarkan bahwa orang-orang mukmin bertolak belakang dengan orang-orang munafik ,sekaligus sebagai motifasi atau dorongan kepada kaum munafik dan selain mereka agar tertarik mengubah sifat buruk mereka.  Laki-laki dan perempuan (mu’min) , mereka senasib dan seperjuangan dalam kemantapan iman oleh karenanya mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Bukti kemantapan iman  mereka (laki-laki dan perempuan)  yakni mereka menyuruh melakukan yang Ma’ruf , mencegah perbuatan yang mungkar, melaksanakan shalat, dengan khusyuk dan bersinambung, menunaikan zakat dengan sempurna , dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya . mereka itu pasti akan dihormati Allah dengan rahmat Khusus ;sesungguhnya Allah Maha perkasa tidak dapat di kalahkan di batalkan kehendak-Nya oleh siapapun lagi maha bijaksana dalam semua ketetapanya. Laki-laki dan perempuan mukmin di janjikan atas surge dan menikmati tempat-tempat bagus  yakni istana-istana Hunian di surge ‘And, selain itu (laki-laki dan perempuan mu’min) mendapatkan Ridha Allah, itu adalah keberuntungan yang besar tiada keberuntungan yang melebihinya

4). Konteks Sosial

Presepsi sosial sering beranggapan bahwa kaum laki-laki adalah kaum yang memiliki kepribadian yang kuat, jantan, penanggung jawab ekonomi keluarga, rasional namun sebaliknya perempuan , sosok ini di kenal memiliki peribadi yang sentimental, lemah, yakni makhluk nomor dua setelah laki-laki. Hal seperti ini telah mendarah daging di lingkungan masyarakat hingga saat ini. Banyak fenomena yang bahwa wanita hanya ada di bawah baying-bayang suaminya yakni  banyak ulama-ulama yang di dominasi oleh laki-laki dan para juru dakwahpun laki-laki walau ada perempuan itu sangat sedikit sekali .

Namun berjalanya zaman yang semakin maju, banyak anak-anak manusia yang berfikir maju para tokoh feminisme yang bermunculan seperti contohnya sekarang ada komunitas ulama perempuan. Di dalamnya yang menjujung martabat wanita bahwa di dadalam kewajuban bertakwa kepada Allah tidak hanya laki-laki melainkan perempuan juga.sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, maka demikian pila halnya perempuan berasal dari laki-laki perempuan , kedua-duanya sama manusia tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas mengenai ayat-ayat tentang perempuan, kesimpulan yang dapat diambil yaitu bahwasanya diantara laki-laki dan perempuan secara kontekstual mereka mempunyai hubungan timbal balik. Meskpun terdapat perbedaan, namun pada dasarnya masing-masing dari laki-laki dan perempuan memiliki keunggulan dalam bidang yang berbeda sesuai dengan kodratnya.

Oleh karena itu baik laki-laki dan perempuan tidak boleh mempunyai perasaan iri terhadap apa yuang dimilki oleh satu sama lain. Selanjutnya pada surah at-Taubah : 71 dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memilki peranan yang sama dalam beragama, mereka sama-sama diperintahkan untuk menjalankan syari’at agama dan juga saling mengingatkan dalam amar ma’ruf nahi munkar.


[1] Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jairi, Tafsir Al Qur’an Al Aisar(jld 2), Jakarta: Darus Sunnah, 2007.

[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath thabari, Tafsir Ath Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, vol.6.

[3] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki- Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm 166.

[4] ibid

[5] ibid

[6] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki- Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm 168.

[7] ibid

[8] Tafsir Al Qurthubi

[9] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath thabari, Tafsir Ath Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, vol.6.

[10] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6, Terj. Akhmad Affandi, (Jakarta: Pustaka Azzam.2008), Hlm. 842.

[11] Syaik Abu Bakar Al-Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar Jilid 2,Terj. M. Azhari Hatim Dan Abdurrahman Mukti,  (Jakarta: Darus Sunnah,2007), Hlm.370.

[12] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6, (Jakarta: Pustaka Azzam.2008), Hlm. 842.

[13] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6, (Jakarta: Pustaka Azzam.2008), Hlm. 846.

[14] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 5 Terj. Ahmad Rijali Kadir,(Jakarta:Pustaka Azzam, 2008), Hlm. 378.

[15] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6, (Jakarta: Pustaka Azzam.2008), Hlm. 851.

[16] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 5, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2008), Hlm. 384.

[17] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6, (Jakarta: Pustaka Azzam.2008), Hlm. 854.

[18] Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fiqih Perempuan: Formulasi Dialektis Fikih Perempuan Dengan Kondisi Dalam Pandangan Imam Syafi’i, (Malang: Uin Malang Press.2009).Hlm152-153.

[19] Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fiqih Perempuan, (Malang: Uin Malang Press.2009).Hlm. 70-71.

[20] Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fiqih Perempuan, (Malang: Uin Malang Press.2009).Hlm. 73.

 

HERMENEUTIKA AL QUR’AN

 Hermeneutika al Qur’an

  1. Pengertian

Secara etimologis, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan”.[1] Istilah tersebut merujuk kepada seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang utusan dewa yang bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa langit agar lebih mudah dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi. Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius, sementara dalam peradaban Arab Islam, Hermes disebut-sebut sebagai Nabi Idris yang dalam al-Qur’an dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara menulis, memiliki kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir, dan lain- lain.[2]

 Meskipun para ahli memberikan definisi hermeneutika yang agak berbede-beda, namun mereka sepakat bahwa dalam arti sempit hermeneutika membahas metode-metode yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu ditafsirkan, serta ungkapan-ungkapan atau simbol-simbol yang karena berbagai macam faktor sulit dipahami. Sedangkan dalam arti luas, hermeneutika adalah cabang ilmu pengetahuan yang membahas hakekat, metode dan syarat serta prasyarat penafsiran.[3]

            Paradigma Hermeneutik adalah suatu penafsiran terhadap teks tradisional (klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan bagaimana supaya teks tersebut selalu dapat kita pahami dalam konteks kekinian yang situasinya sangat berbeda.[4]

Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan al-Qur’an tidak hanya mengandalkan perangkat keilmuan seperti yang digunakan para penafsir dulu. Melainkan, paradigma interkoneksi-integrasi antara disiplin keilmuan dalam penafsiran menjadi suatu hal yang niscaya.[5]

Dalam buku berjudul Hermeneutika al Qur’an?, Dr. Hasan Hanafi mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berarti ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas atau dari Logos ke Praktis, selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata.[6]

Menurut Recoeur, masalah hermeneutika pertama kali muncul dalam hal batas exegesis, yaitu dalam kerangka disiplin ilmu untuk memahami suatu teks. Artinya, masalah ini merupakan masalah tafsir atau interpretasi terhadap teks tertulis.[7]

Hermeneutika pada mulanya merupakan pembicaraan mengenai ‘metode penafsiran’ terhadap teks-teks, khususnya kitab-kitab suci. Di kemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode-metode penafsiran dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti yang dilakukan oleh Wilhelm Dilthey dan Schlemacher.[8]

 

  1. Pro- Kontra

Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A. dalam bukunya, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an berasumsi bahwa ide-ide hermeneutika dapat diaplikasikan ke dalam ilmu tafsir, bahkan dapat memperkuat metode penafsiran al-Qur’an. Asumsi ini didasarkan atas beberapa argumentasi sebagai berikut:[9]

  1. Secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat.
  2. Yang membedakan antara keduanya, selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan obyek pembahasannya: hermeneutika, sebagaimana yang diungkapkan di atas, mencakup seluruh obyek penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa atau teks), sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks. Teks sebagai obyek inilah yang mempersatukan antara kermeneutika dan ilmu tafsir.
  3. Memang benar bahwa obyek utama ilmu tafsir adalah teks al-Qur’an, sementara obyek utama hermeneutika pada awalnya adalah teks Bibel, di mana proses pewahyuan kedua kitab suci ini berbeda. Dalam hal ini, mungkin orang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan hermeneutika dalam penafsirna al-Qur’an dan begitu pula sebaliknya. Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu allah secara verbatim, sementara Bibel diyakini umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermeneutika maupun Ilmu Tafsir.

Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah teks suci, termasuk al-Qur’an, sering dipandang akan melenyapkan sakralitas teks yang dimaksud karena dengan pendekatan hermeneutika maka segala pemahaman dan pemaknaan terhadap teks yang semula juga dipandang sama-sakralnya dengan teks itu sendiri, kini dianggap sekedar hasil karya manusia biasa yang meruang-waktu secara tidak bersih dari kesalahan.

Apabila dicermati, secara umum argumentasi kelompok yang anti hermeneutika tersebut adalah sebagai berikut:[10]

  1. Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari tradisi Kristen, Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, Barat dan juga Filsafat, yang tidak pasti sesuai dengan Islam.
  2. Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterpretasi al-Qur’an, yaitu ‘Ulum al-Qur’an atau Ilmu tafsir al-Qur’an.

Sebuah artikel yang kiranya juga mengekspresikan pendirian ketidak-setujuan terhadap hermeneutika memberikan argumen berikut:[11]

  1. Berdasarkan akar katanya, hermeneutika sering diasosiasikan dengan Hermes, yaitu seorang Dewa Yunani yang bertugas menyampaikan pesan dari dunia dewa-dewa kepada manusia. Untuk melaksanakan tugasnya ini Hermes bertanggung-jawab membuat penduduk bumi bisa memahami apa kemauan dewa, sehingga sangat mungkin Hermes ini memilih cara dan model ungkapan kata sendiri untuk disampaikan kepada manusia. Apabila dilihat dari titik ini, maka harus ditegaskan meskipun fungsinya sama, namun Muhammad yang mengemban Risalah al-Qur’an tidaklah sama dengan Hermes, Kalau Muhammad tidak berhak menginterpretasi dan menyadur Risalah serta selalu mendapat pengawasan dari allah agar tidak memanipulasi Risalah, tidak demikian halnya dengan Hermes.
  2. Dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural, karena satu-satunya jalan untuk memberikan interpretasi yang benar dan jujur terhadap teks ialah penguasaan terhadap teks dan konteks historis yang melatari munculnya terks tersebut. Berbeda dengan tradisi ‘Ulum al-qur’an yang sangat mementingkan dimensi otentisitas dan prosedur periwayatan sebelum menafsirkan; misalnya ada hirarki langkah-langkah penafsiran: yang paling utama adalah ayat dengan ayat, laly ayat dengan sunnah (hadis Rasul); kemudian penafsiran sahabat, selanjutnya penafsiran tabi’in.
  3. Ruang lingkup kajian hermeneutika sebagaimana telah dijelaskan di muka berkisar pada tiga elemen pokok, yakni teks, interperter dan audien atau apa yang diistilahkan dengan triadic structure. Itu berarti teori hermeneutika sangat simpel dan umum, tidak memberikan penjelasan yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar dan representatif.
  4. Dalam teori hermeneutika terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai tiga unsur utama tersebut secara baik. Padahal dalam tradisi ‘Ulum al-Qur’an dinyatakan bahwa banyak ayat yang sifatnya tidak terjangkau oleh nalar manusia, termasuk yang paling jenius sekalipun, misalnya tentang alam gaib.
  5. Dalam teori hermeneutika seorang interpreter memahami lebih baik teks dibandingkan si penulis (pengarang).

 

  1. Kemiripan Aliran Hermeneutika Umum dan Tipologi Pemikian Tafsir Kontemporer.

Melihat kecenderungan dari aliran-aliran hermeneutika umum. Dr. phil. Sahiron Syamsuddin, M.A. berpendapat bahwa terdapat kemiripan aliran dan kecenderungan penafsiran dengan apa yang terjadi dalam tradisi penafsiran al-Qur’an pada saat ini, yang juga dapat dibagi ke dalam tiga macam aliran berikut ini.

  1. Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis

Yang dimaksud dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis adalah suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada amasa kini, sebagimana ia diapahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kaum salafi di beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan bantuan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbab al-nuzul, ilmu munasabat al-ayat, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, dan lain-lain dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective meaning/ original meanng) ayat tertentu. Pandangan ini merupakan tentendi utama memegangi pemahaman literal terhadap al-Qur’an. Ketetapan-ketetapan hukum (juga ketetapan-ketetapan yang lain) yang tertera secara tersurat di dalam al-Qur’an dipandangnya sebagai esensi pesan Tuhan, yang harus diaplikasikan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun. Hal ini mengarah kepada satu kenyataan, bahwa tujuan-tujuan pokok atau alasan-alasan yang melatarbelakangi penetapan hukum (maqashid al-syari’ah) tidak diperhatikan secara prinsipil. Para ulama yang memegang teguh pandangan ini memang menjelaskan beberapa tujuan hukum yang mungkin merupakan dasar ketetapan-ketetapn humum al-Qur’an, namun penjelasan mereka itu tidak dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada tujuan-tujuan penetapan hukum itu sendiri, melainkan bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’an itu rasional dan sebaiknya atau seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam sepanjang masa. Singkat kata, apa yang dimaksud dengan motto al-Qur’an shalih li-kulli zaman wa-makan adalah arti literal dari apa yang tersurat secara jelas dalam al-Qur’an. Kelemahan dari pandangan ini adalah, antara lain, bahwa mereka tidakmemperhatikan kenyataan, bahwa sebagian ketetapan hukum tersurat, seperti hukum perbudakan, tidak lagi (paling tidak, pada masa sekarang) diaplikasikan dalam kehidupan. Kelemahan yang lain adalah bahwa para ulama yang memiliki pandangan ini tidak tertarik untuk memperbarui pemahaman mereka terhadap al-Qur’an untuk mencoba menjawab tantangan-tantangan modern dengan cara mempertimbangkan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara situasi pada saat diturunkannya wahyu dan situasi yang ada pada masa kini.

  1. Pandangan quasi-obyektivis modernis

Pandangan quasi-obyektivis modernis memiliki kesamaan dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metode lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran quasi-obyektivis modernis yang di antaranya dianut oleh Fazlur Rahman dengan konsepnya double movement, Muhammad al-Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-maqasidi dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi, memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an. Bagi mereka, sarjana-sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Thalibi dengan maqasid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh abu Zayd dengan maghsa (signifikansi ayat). Makan di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.

  1. Pandangan subyektivis

Berbeda dengan pandangan- pandangan tersebut di atas aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan sebyektifitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini setiap generasi mempunyai hak untuk menfsirkan al Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat al Qur’an ditafsirkan. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Syahrur. Di tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat- ayat. Mufassir modern, menurutnya seharusnya menafsirkan al Qur’an sesuai dengan ilmu modern baik itu ilmu eksakta maupun non ekskta. Syahrur menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al Qur’an ditafsirkan. Dalam hal ini dia berpegang pada adagium: tabaqat al-nashsh wa-harakat al muhtawa (teks al Qur’an tetap, tetapi kandungannya terus bergerak dan berkembang).[12]


[1] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5.

[2] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: TERAJU, 2002), hlm. xx. 

[3] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 10.

[4] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ, 2012), hlm. 163.

[5] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an, hlm. 164.

[6] Hasan Hanafi, Hermeneutika Al Qur’an?, terj. Yudian Wahyudi dan Hamdiah Latif, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 35.

[7] Fariz Pari, Hermeneutika Gazali dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (ed.,) “Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al Qur’an dan Hadis”, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 5.

[8] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al Qur’an Menurut Hassan Hanafi, hlm. xxii. 

[9] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 72-73.

[10] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011), hlm. 30-32.

[11] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, hlm. 32-33.

[12] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul .Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 75-76

dosa- dosa besar

PENGERTIAN DOSA

 Makna dosa dalam syari’ah Islam ialah melakukan sesuatu yang dilarang, atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan.   

Dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama. Kerangka rujukan dosa adalah tuhan atau norma Agama.

            Dosa besar ialah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya yang tercantum di dalam al Qur’an dan hadist serta atsar dari para ulama yang shaleh. Sungguh Allah menjanjikan di dalam al Qur’an kepada orang yang dapat memelihara diri dari dosa- dosa besar yang dilarang oleh Allah swt. dengan mengampuni semua dosa kecilyang pernah ia perbuat.[1] 

HADIST TENTANG DOSA BESAR

قال عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ : الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda :”Jauhilah tujuh dosa yang dapat menghapus amal kebajikan, yakni mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari barisan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita menjaga kehormatan yang lengah lagi beriman.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

MUFRADAT

Yang dimaksud dengan kata ‘al-Muubiqat’ adalah ‘al-MuHlikat’ (dosa yang dapat menghancurkan amal kebaikan).

 

Penjelasan Hadist

Kebaikan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.

Adapun yang di maksud dengan tujuh dosa tersebut yaitu:

  1. SIRIK

Sirik secara bahasa berasal dari syaroka- yasroku- syirkan, yang berarti menyekutukan. Sedangkan secara istilah ialah menyekutukan Tuhan dengan makhluk. Sirik itu sifatnya sedangkan musrik itu orangnya. Perbuatan sirik sangat dibenci Allah.[2]

  1. SIHIR

Sihir adalah semacam doa- doa yang dilakukan oleh orang- orang jahatuntuk tujuan kehancuran dan sandarannya bukan Allah tapi syetan. Di tiap daerah atau Negara kata sihir selalu berbeda, ada yang disebut dengan tenun, santet, jengges, madung, leak, dan lain sebagainya.

Sihir dan sejenisnya dilarang oleh Allah karena itu adalah perbuatan syetan dan juga termasuk dosa besar. [3]

  1. MEMBUNUH TANPA HAK

Membunuh adalah menghilangkan atau melepaskan nyawa/ jiwa seseorang sehingga menyebabkan kematian dengan cara apa pun dan dengan sengaja.

            Membunuh selalu di latarbelakangi oleh nafsu syetan yang egois tanpa diperhitungkan dengan akal yang sehat yang berambisi masalah materi atau keduniaan.

            Membunuh juga dibenarkan asalkan berdasarkan alasan yang benar menurut agama. Kalau tidak dengan alasan tersebut, atau bahkan tidak beralasan maka Allah melarangnya dan perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Karena hanya Allah yang berhak menghidupkan dan mematikan hamba-Nya.

            Membunuh yang diizinkan oleh Allah antara lain: membunuh orang yang berusaha mengganggu harkat dan martabat agama Allah atau mempertahankan agama Allah dan alas an lain yang bias dibenarkan oleh syara’.[4]

  1. RIBA

Riba secara bahasa artinya az- ziadah(tambahan). Tambahan yang di maksud di sini ialah tambahan atas modal baik sedikit ataupun banyak.

            Perbuatan riba sangat merugikan orang lain. Perbuatan riba ada dua macam:

a)      Riba nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diperoleh dari seseorang yang menghutang dari orang yang berhutang lantaran penangguhan.

b)      Riba fadhal yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangandengan tambahan. Apapun bentuknya perbuatan riba dilarang oleh Allah.[5]

Perbuatan riba di haramkan oleh Allah karena mengandung beberapa masalah antara lain:

ü  Ia dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan menangkis habis semangat kerja sama saling menolong pada sesama manusia.

ü  Timbulnya mental kelas pemboros.

ü  Merupakan salah satu kelas penjajah.

  1. MAKAN HARTA ANAK YATIM

Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya dan kalau yatim piatu tiada ayah dan ibu. Anak yatim bias dikategorikan sebagai anak yang lemah karena anak yatim ialah anak yang belum dewasa, belum siap mental dan emosinya tapi harus di tinggal oleh orang tua yang seharusnya membimbing dan juga sebagai sandaran hidupnya.

Terhadap anak yatim kita harus menaruh cinta dan rasa kasih saying kepada mereka , ikut prihatin melihat keberadaannya. Kita tidak boleh membecinya, apalagi sampai memakan harta kekayaannya. Hal tersebut termasuk perbuatan yang sewenang- wenang terhadap anak yatim, dan dilarang oleh Islam.

            Kita diperbolehkan memelihara anak yatim dan hartanya, dengan catatan diperlakukan dengan baik dan tidak bermaksud menghabiskan. Dan bila nanti dia telah dewasa dan dapat mengurus hartanya, harta tersebut harus diberikan kepadanya untuk dipelihara sendiri, serta tidak ikut campur di dalam pengurusannya.[6]

  1. MUNDUR DARI PERANG

Perang adalah paksaan dari orang lain baik individu maupun kelompok untuk mematuhi suatu ide agar dipatuhi oleh pihak lain dengan jalan kekerasan (fisik). Yang dimaksud ide di sini baik itu ideologi keagamaan maupun ideologi dalam artian tatanan Negara.

            Islam menganjurkan berperang hanya dengan menegakkan agama Allah dan itu pun bila sudah dalam keadaan sangat terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Ummat islam disuruh memerangi orang- orang yang benar mengganggu dan merongrong agama islam, dan akan berdosa besar bila seseorang mundur dari medan perang untuk sabilillah hanya karena takut mati/ yang lain, orang yang demikian lebih pantas dijuluki pengecut atau munafik.

            Islam memang tidak membolehkan mencari musuh akan tetapi tidak boleh lari bila ketemu dengan musuh.[7]

  1. MENUDUH ZINA PADA WANITA BAIK- BAIK

Menuduh adalah meletakkan suatu keadaan tertentu kepada orang lain yang orang itu sendiri tidak tahu pasti sesuai dengan keadaan yang diberikan atau tidak. Perbuatan menuduh adalah perbuatan purbasangka yang tanpa dilandasi oleh pemikiran yang sehat dan cermat, melainkan hannya berdasarkan emosi saja. Menuduh hamper sama dengan jalur penilaian, sebelum orang tersebut menuduh atau menilai harus tahu betul keadaan yang akan dinilai atau dituduh. Hal ini bias lewat jalur kebaikan dan juga jalur kejahatan.

Dalam porsi ini masalah tuduhan wanita baik- baik berbuat zina hal ini termasuk dosa yang besar. Tuduhan zina adalah sangat berat hukumnya bagi yang menuduh dan juga sangsi moral bagi yang tertuduh, tertuduh merasa kehilangan harga diri dan namanya dikotori di masyarakat.

Harapannya hancur, masa depannya suram, batinnya tertekan seakan hidup ini tidak akan berarti lagi. Tertuduh juga sulit untuk menanamkan kepercayaannya pada masyarakat banyak dan juga untuk bangkit dari harga diri yang telah hancur.[8]

AKIBAT DARI MELAKUKAN DOSA

            Ketika kita melakukan perbuatan dosa, maka beberapa akibat yang muncul karena hal tersebut yaitu:

1)      Dosa menghalangi doa dan mencegah keterkabulannya.

2)      Dosa dapat mengubah nikmat dan membinasakan umat.

3)      Dosa mengurangi umur manusia.

4)      Dosa meruntuhkan penjagaan.

5)      Dosa menimbulkan kegelisahan.

6)      Dosa menjerumuskan manusia kepada kekafiran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

P E N U T U P

A.   KESIMPULAN

Dosa-dosa besar merupakan segala larangan yang berasal dari Allah maupun Rasul-Nya. Dosa-dosa besar sangat banyak jumlahnya, diantaranya: syirik, membunuh jiwa tanpa hak,sihir, menuduh mukminat berzina, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang,dan lain sebagainya.

Dosa-dosa besar di atas yang merupakan dosa dan kezhaliman yang paling besar serta yang paling berat hukumannya, yaitu syirik. Allah telah mengharamkan surga bagi orang yang menyekutukan-Nya dan telah disiapkan baginya neraka sebagai tempat kembali. Sesungguhnya tidak ada penolong bagi orang-orang yang zhalim.

Banyak lagi dosa-dosa besar yang harus dihindari, karena berakibat buruk dan dapat membinasakan diri sendiri juga orang lain selain yang telah disebutkan di atas. Setiap orang Islam yang beriman wajib menghindarkan diri dari dosa-dosa besar tersebut, agar tidak mendapat laknat dari-Nya. Karena Allah menjanjikan surga-Nya untuk orang-orang yang menhindarkan diri dari padanya dan Allah menghadiahkan neraka-Nya untuk orang-orang yang mengerjakannya.

Tujuh dosa yang membinasakan sesuai dengan sabda Rasul di atas bukan sebagai pembatas bagi dosa-dosa besar tersebut. Tetapi hal itu disampaikan oleh Rasulullah sebagai bentuk perhatiannya yang sangat besar terhadap umatnya agar tidak terjerumus kepada dosa-dosa besar lain yang mafsadat, hukuman, dan ancamannya seperti ketujuh dosa di atas.

Namun demikian, dari sekian banyak dosa yang tergolong kepada dosa-dosa besar, dosa musyrik menempati urutan paling atas (yang terbesar) dari dosa-dosa besar lainnya. Adapun dosa-dosa besar lainnya yang tidak tercantum dalam hadis di atas, tetapi menjadi kriteria dosa besar dalam hadis yang lain, di antaranya adalah durhaka terhadap orangtua, membunuh anak karena kekhawatiran menambah kemiskinan, persaksian palsu atau dusta, khianat dalam perkara ghanimah, zina, mencuri, meminum minuman keras, menebar fitnah, melanggar bai’at.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Almansor, s. Ansory. 48 Macam Perbuatan Dosa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1998.
  • Almahalati, Arrasuli. Akibat Dosa Makna dan Pengaruhnya atas kehidupan manusia. Bandung: Pustaka Hidayah. 1996.

 

           

 


[1] QS. An- Nisa’: 31, QS. Asy- Syura’:37, QS. An- Najm:32

[2] QS. Az- dzari’at: 56, QS. Lukman: 13, QS. An Nisa’: 116

 

[3] QS. Al- Baqarah: 102

[4] QS. An Nisa’: 29

 

[5] QS. Al- Baqarah: 275, 276, 279.

[6] QS. Adh- Dhuha: 9, QS. Al- An’am:152, QS. An- Nisa’:10

[7] QS. Al Baqarah: 190, 191, 193, QS. Al Anfal: 39

[8] QS. An Nuur: 4

tafsir ayat tentang bumi

Ayat Tentang Bumi

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“ Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”. [QS. Al Anbiya (21) : 30 ]

TAFSIR MUFRADAT

أَوَلَمْ يَرَ berarti tidak mengetahui

كَانَتَا menurut Al Akhfasy yang dimaksud adalah langit dan bumi

رَتْقًا menurut Abu Ishak berarti kaanataa dawaata ratqin yang berarti dulunya keduanya adalah sesuatu yang menyatu

TAFSIRAN AYAT

            Ibnu Abbas, Al Hasan, Atha’, Adh Dhahhak dan Qatadah mengatakan bahwa langit dan bumi dulunya adalah suatu yang menyatu saling menempel, lalu Allah memisahkan antara keduanya dengan udara. Ka’ab juga berpendapat seperti itu, dan menurutnya Allah menjadikan langit menjadi tujuh dan bumi menjadi tujuh.

Sedangkan menurut Mujahid, As Suddi dan Abu Shalih, langit dulunya menyatu pada satu tingkat, lalu Allah memisahnya dan menjadikannya tujuh langit. Demikian juga halnya dengan bumi. Pendapat ini juga di ungkapkan oleh al Qutabi di dalam Uyun Al Akhbarnya. Selain itu al Qutabi menambahi bahwa Allah menjadikan bumi yang paling tinggi dengan para penghuninya yang berupa jin dan manusia. Allah juga membelah padanya sehingga menjadi sungai- sungai, menumbuhkan buah- buahan, menciptakan lautan yang di atasnya daratan, jaraknya sejauh perjalanan lima ratus tahun.  Kemudian Allah menciptakan bumi kedua  yang sama luas tebalnya, dengan penghuni yang kelak menjelang terjadinya kiamat, mereka akan dihempaskan bumi kepada Ya’juj Ma’juj. Nama bumi itu adalah Dakma. Bumi ketiga tebal dan luasnya sejauh perjalanan lima ratus tahun, dari situlah udara ke bumi. Pada Bumi keempat Allah menciptakan kegelapan dan kalajengking para penghuni neraaka. Bumi keenam disebut Maad, dan bumi ketujuh disebut Arabiyah.

Pendapat selanjutnya dari Ikrimah, Athiyah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Mahduwi bahwa langit itu dulu merupakan satu kesatuan dan tidak menurunkan hujan, bumi juga satu kesatuan dan tidak menumbuhkan tumbuhan. Lalu bumi dipisah dengan hujan, dan bumi dengan tumbuhan.

Ada tiga penakwilan mengenai firman Allah  وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَي pertama, menurut Qatadah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari air. Kedua: allah memelihara kehidupan segala sesuatu dengan air. Ketiga: dan kami menjadikan segala yang hidup dari air tulang sulbi.[1]

Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu, sedangkan kata fataqnahuma terambil dari kata fataqa yang berarti terbelah atau terpisah. Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir lafad ini. Ada yang memahaminya dalam arti langit dan bumi tadinya merupakan sat gumpalan yang terpadu. Hujan tidak turun dan bumipun tidak ditumbuhi pepohonan,kemudian Allah membelah langit dan bumi dengan jalan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh- tumbuhan di bumi. Ada lagi yang berpendapat bahwa bumi dan langit tadinya merupakan suatu yang utuh tidak terpisah, kemudian Allah pisahkan dengan mengangkat langit ke atas dan membiarkan bumi tetap ditempatnya berada di bawah lalu memisahkan keduanya dengan udara. [2]

An nahl 65 Allah berfirman untuk mengingatkan makhluk Nya tentang argumen- argumennya kepada mereka yang menyangkut tauhid, bahwa ulluhiyyah tidak patut dimiliki oleh selainNya, serta ibadah yang tidak pantas diberikan kecuali kepadaNyaa. Allah berfirman “ Wahai manusia,sesembahan kalian yang pantas disembah, bukan yanga lain, anzal…..:hujan. Lalu dengan air yang diturunkannya dari langit itu Dia menumbuhkan bumi yang mati, yang tidak ada tanaman serta tumbuh- tumbuhan diatasnya. Lafat ba’da mautiha mahsudnya sesudah ia mati tanpa ada sesuatu pun di dalamnya.

Inna fi dzalika laayah maksudnya Allah berfirman “dalam menghidupkan bumi sesudah kematiannya dengan air yang Kami turunkan dari langit, terdapat tanda yang jelas dan argumen yang tegas untuk menghilangkan alasan orang yang meragukannya.

Liqaumin yasma’uun maksudnya bagi kaum yang mendengarkan perkataan ini, lalu merenungkannya, memikirkannya, dan menaati Allah berdasarkan dalil yang ditemukannya.[3]

 

 

 

 

 


[1] Syaikh Imam Al Qurthubi,”Tafsir Al Qurthubi”, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.hlm 755.

[2] M. Quraish Shihab “Tafsir Al Misbah”, Jakarta:Lentera Hati. 2002. Hlm 442.

[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari “Tafsir Ath Thabari” Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Hal 182

PEMIKIRAN M. MATSIR

PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR

Natsir menggagas konsep dakwah Islam bukan sekedar menyampaikan ajaran Islam, tetapi diciptakan dengan bi lisani al amal. Maksudnya, bi lisani al hal, bi lisani al amal, dan bi lisani al akhlaq karimah. Dengan demikian, dakwah Islam dalam pandangan M. Natsir adalah amar ma’ruf nahi munkar, di dalamnya terdapat tiga unsur utama yaitu aml perbuatan lisan, aktualisasi ajaran Islam dengan karya nyata, dan kepribadian terpuji sebagai sokogurunya. Pemahaman konsep dakwah seperti ini mempunyai implikasi terhadap perubahan masyarakat, baik dari sosio kulturalnya maupun geopolitiknya. Adapun masyarakat pada level sosiokultural yang sederhan, hanya menghendaki perubahan seadanya dengan motivasi mereka dengan konsep islam bagi perubahan. Hal ini barbeda dengan rgan masyarakat pada level geopolitik dengan tingkat ketajaman berpikir dan kemapanan daya kritis yang kuat. Dalam hal ini, masyarakat menghendaki perubahan yang lebih mendasar dimana perubahan itu sendiri mempunyai implikasi nyata dalam kehidupan. Ajaran Islam tidak hanya dipahami sebagai bimbingan ritua, tetapi juga dipahami sebagai dukumgan sosial untuk kemajuan hidupnya.dalam konteks ini, tugas dakwah Islam itu lebih diarahkansebagai kewajiban pribadi, bukan diarahkan sebagai kewajiban kolektif. Artinya, semua orang harus  berdakwah untuk dirinya, keluarganya dan masyarat di mana saja dan kapan saja, supaya dapat memacu adanya perubahan.

              M. Natsir memang serius dengan sebuah obsesi yang tampak ideal, yaitu bagaimana memperjuangkan Islam secara politis pada elite birokrat, baik dalam pemerintahan Orde Lama maupun orde Baru. Target yang diinginkan adalah bagaimana mengislamkan umat  Islam di Indonesia. Karena, sebagai mayoritas tunggal, ini merupakan satu dilema besar sebagai pencerminan kehidupan Islam. M. Natsir berpikiran untuk menyampaikan dakwah Islam melalui jalur politk secara formal. Akan tetapi, kemauannya tersebut tidak mendapat izin dari pihak penguasa.

              Konsekuensi dari pernyataan tersebut maka isi dakwah Islam yang lebih digemari M. Natsir tampak bergeser. Pada tahun 1930-an dakwah Islam M. Natsir lebih terfokus pada materi Islam sebagai petunjuk ritual, seperti mengajarkan tauhid, shalat, dan lain sebagainya dengan satu muara yaitu  ingin menjadikan masyarakat Islam supaya mengamalkan ajaran Islam.hal itu berubah ketika M. Natsir terjun pada sejumlah jabatan politis. Orientasinya pada materi dakwah tampak berubah yaitu ingin menjadikan kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, M. Natsir tampaknya lebih intens berbicara, menulis, bahkan menggalang potensi- potensi umat yang dipandangnya memiliki nuansa politik dan komitmen yang kuat terhadap kepentingan Islam.

              Dalam pemerintahan Orde Baru, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan M. Natsir sebagai pemimpinnya hingga wafatnya, selalu berjuang dan berdakwah. Misi dakwah yang dikembangkan oleh DDII tampak sangat vokal dan agak kriris terhadap siapa saja yang ingin memadamkan ajaran Islam, tidak peduli siapapun itu.

              Ada hal yang perlu disempurnakan dalam gerakan dakwah yang dilakukan  M. Natsir. Dakwah Islam yang dilakukan beliau hanya terfokus pada pendekatan formal, terutama dalam menghadapi elite birokrasi. Tidak tampak pendekatan dakwah yang bersifat lebih kekeluargaan atau dari hati ke hati seperti bapak dengan anaknya.pendekatan yang serba formal inilah yang menimbulkan jarak yang cukup jauh dengan penguasa sehingga menimbulkan sikap kurang akrab dan bersahabat yang membawa konsekuensi kecurigaan pihak elite birokrasi terhadap misi dakwah yang diemban oleh M. Natsir. Tampaknya, M. Natsir dalam gerakan dakwahnya, terkesan sebagai seorang mubalig yang menyampaikan kebenaran dengan berorientasi pada apa yang disebut qul al haq walau kaana murran ‘katakanlah yang benar walaupun pahit’. Dalam berdakwah, dia lebih suka merespon atas masalah- masalah yang diceritakan padanya di dalam forum.

              M. Natsir tampaknya masih menghendaki kekuatan polotik  sebagai alat dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Kehendaknya ini dapat dibaca  pada ucapan beliau “kalau dulu kita berdakwah melalui politik, maka sekarang kita berpolitik melalui dakwah.” Lebih dari itu, format dakwah yang dikehendaki oleh M. Natsir adalah melalui kekuasaan secara politis. Adapun setrategi dakwah yang paling baik menurutnya adalah mengajak para penguasa negara untuk mau menerima kebenaran agama dan mengamalkannya dalam kehidupan mereka sehari- hari. Apabila ini bisa terlaksana maka secara otomatis akan menjadi contoh bagi masyarakatnya. Dengan demikian, keberhasilan dakwah lebih dirasakan masyarakat banyak daripada berdakwah sekadarnya.[1]


[1] Luth, Thahir. M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya.jakarta: Gema Insani Press. 1999.

HADIST TENTANG TEMPAT MUSTAJAB

HADIST TENTANG TEMPAT MUSTAJAB

عن سعيد بن المسيب عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله عليه وسلم : صلاة في مسجدي هذا خير من الف صلاة في غيره من المساجد, الا المسجد الحرام

 Dari Sa’id Musayyab yang diterimanya dari BU hurairah r.a, katanya : “telah bersabda Rasullah saw.: “ suatu kali shalat di masjiku ini, lebih utama dari seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram.”

Dikelarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, demikian pula oleh Bukhari, Turmudzi, Nasa’I, dan ibn Majah.sementara lafadnya dari Muslim.

PENJELASAN

Shalat di masjid nabi saw. di Madinah, lebihbaik dan lebih besar pahalanya daripada shalat di masjid- masjid lainnya.hanya dikecualikannya dari masjid- masjid lainnya itu Masjidil Haram yang terletak di Makkah dan yang di dalamnya terdapat ka’bah Mussyarafah.

عن خفص بن عاصم عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه  وسلم قال : ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة ومنبري علي حوضي

Dari Hafash bin Ashim, dari abu Hurairah ra.bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ Tempat yang terletak di antara rumahku dan mimbarku, merurpakan suatu taman di antara taman- taman surga, sedangkan mimbarku itu berada di atas kolamku.”

Dikeluarkan oleh Imam Muslim pada kitab Haji, juga dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahihnya.

PENJELASAN

Kata Nawawi,: mengenai maksud hadis tersebut ada dua pendapat, yaitu pertama bahwa tempat itu sendiri akan dipindah ke surga. Kedua bahwa beribadah di tempat itu akan mengantarkan seseorang ke dalam surga.

Kata Thabari : hadist tersebut guna menetapi amal- amal shaleh akan mengantarkan yang bersangkutan ke telaga sehingga ia akan dapat mereguk airnya.[1]   

يا ملائكتي : ما جزاء عبدي هذا سبّحنى وهلّلني وكبّرنى وعظّمنى وعرفنى واءثنى عليّ وصلّى على نبيي اءشهدوا ملائكتى انّي قد غفرت له وشفّعته في نفسه ولو ساءلنى عبدى هذا لشفّعته فى اهلى الموقف

“hai Malaikat-Ku! Apa balasan hambaKuini, ia bertasbih kepadaKu, ia bertahlil kepadaKu, ia bertakbir kepadaKu, ia mengagumkan Aku, ia mengenaliKu, ia memujiKu, ia bershalawat kepada NabiKu. Wahai para MalaikatKu! Saksikanlah, bahwasannya Aku telah mengampuninya, Aku memberikan Syafaat (bantuan) kepadanya. Jika hambaku memintanyatentu akan Ku berikan untuk semua yang wukuf di Arafah ini.”[2]

Dalam hadist lain dikatakan bahwaada sebagian dosa tidak bias diampunkan Allah kecuali dengan wukuf (berdoa minta ampun) di Arafah.[3]

 

Arafah membawa hati pada perenungan Ilahiyang suciyang dilakukan dengan shalat, zikrullah, talbiyah, tasbih, istighfar, tangis pennyesalan, tobat,  salawat kepada Rasul, berdoa, memaca al Qur’an, dan sebagainya.

Dengan itu diharapkan segala dosa lebur dan sirna, hanyut dan cair dibawa air mata tobat dan harapan mghfirah Allah SWT. Nabi saw bersabda,

لا يبقى احد يوم عرفة فى قلبه وزن ذرّة من ايمان الا غفر له

“ Tidak seorangpun yang berada di Arafah tidak mendapat pengampunan dari Allah, selama ia beriman kepada Allah.(yakni mengkondisikan Arafah sesuai dengan yang diinginkan) ” [4]

 

 Ayat yang berhubungan dengan tempat- tempat mustajab di antaranya yaitu Q.S. al Hajj: 25

ان الذين كفرو……

“sesungguhnya orang- orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan masjidil haram yang telah kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ ………..

PENJELASAN:

Mekah dan tanah haram adalah negeri Allah, setiap muslim berhak untuk tinggal di dalamnya untuk beribadah dan mendekatkan diri selama dia tidak berbuat zalim dan melanggar kehormatan tanah haram dengan perbuatan dosa atau kemaksiatan, terutama perbuatan  syirik.

Agungnya kedudukan tanah haram, karena orang yang berniat untuk melakukan kejahatan saja akan dibalas, walaupun dia belum sempat melakukannya.

Ancaman bagi orang- orang yang mengingkari dan yang menghalangi manusia dari jalan Allah yaitu menghalangi manusia menuju Masjidil Haram serta melakukan kezaliman di dalamnya.[5]

Firman Allah Q.S. Ali Imran: 96

ان اوّل بيت وضع للناس للّذى ببكّة مباركا وهدى للعالمين

“ sesungguhnya rumah yang pertama …….

Secara umum kita dapat mengatakan bahwa semua tempat di mana seseorang me­lakukan ibadah haji atau umrah adalah tem­pat yang mustajab, (doanya diterima). Namun para ulama, berdasar teks-teks keagamaan, menyebutkan sekian tempat dan waktu di mana seseorang hendaknya bersungguh-sungguh berdoa, yaitu:

  • Di Multazam adalah tempat di antara Pintu Ka’bah dan Rukun Hajar Aswad.
  •  Di Hijir Ismail adalah bangunan terbuka, berbentuk setengah lingkaran berada disebelah sisi barat Ka’bah. Disebut Hijir Ismail karena merupakan tempat berteduh Nabi Ismail Dan Siti Hajar.
  • Di bawah Pancuran
  • Di dalam Ka’bah
  • Di sumur Zamzam
  • Di bukit Shafa
  • Di bukit Marwah
  • Saat melakukan sa’i
  • Di Maqam Ibrahim Maqam Ibrahim adalah batu yang dipergunakan Nabi Ibrahim untuk berpijakan ketika membangun Ka’bah.
  • Di ’Arafah (saat wukuf)
  • Di Muzdalifah
  • Di Mina
  • Di tempat atau setelah selesai me­lontar pada ketiga tempat melontar, yakni Ula, Wastha, dan ’Aqabah.

 


[1] Majlis Tertinggi Urusan Keislaman Mesir, Sunah- Sunah PIlihan Haji dan Umrah, Bandung : ANGKASA.

 

[2] Al Munziri, at Targhib wat Tarhib, tanpa tempat: Dar Ihya at Turats al ‘Arabi, 1959, jilid 2, hlm. 206.

[3] Atiq Ghaits al Biladi, Fadhail al Makkah, tanpa tempat: Dar Makkah 1989, hlm. 162.

 

[4] Muibuddin ath Thabari, op.cip., hlm. 409. (HR Abu Dzar al Harawi).

[5] Al Jazairi, Abu Bakar Jabir, Tafsir Al- Qur’an al aisar jilid 4, darus sunnah press, 2007

 

Hadist Tentang Hati Sebagai Pusat Tubuh

 

  1. Redaksi Hadist

حدثنا أبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَاءُ عَنْ عَامِرٍ قال سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيْرٍ يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الحَلالُ بَيِّنٌ وَالحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لايَعْلَمُهَا كَثِيْرٌ مِن النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى المُشَبَهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ ألاَ وَإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ألاَ إنَّ حِمَى الله فِى أرْضِهِ مَحَارِمُهُ ألاَ وَإنَّ الجَسَدِ مُضْغَة إذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ألا وَهِىَ القَلْبُ.

Artinya :

Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami, Zakariyya telah menceritakan kepada kami, dari Amir berkata saya mendengar An-Nu’man bin Basyir mengatakan: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas. Sedangkan diantara keduannya adalah syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa menjaga dari perkara yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa masuk ke dalam hal-hal syubhat, maka ia bagaikan seorang gembala yang mengembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang yang dikhawatirkan ia akan menginjaknya. Ingatlah, bahwa setiap penguasa mempunyai batasan-batasan tertentu dan sesungguhnya batasan-batasan allah adalah larangan-larangan-Nya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal darah, yang apabila ia baik makla baiklah seluruh tubuh dan apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh. Ketauhilah ia adalah hati.

 

  1. MUFRADAT

مُشَبَّهَاتٌ = Syubhat maksudnya adalah hal yang samar yang tidak diketahui oleh banyak orang.

اسْتَبْرَأَ = Membersihkan diri.

يُوَاقِعَهُ = Memasuki daerah terlarang.

مُضْغَة = Sekerat daging.

الجَسَد = Tubuh

القَلْبُ = Hati, maksudnya adalah hati fisik. Yaitu organ yang ada didalam tubuh.[1]

  1. TAKHRIJ HADIST

Shahih muslim

2996

Sunana Ibnu Majah

3974

Musnad Ahmad

17649

Sunan Darimi

2419

Shahih Bukhari

50

 

  1. BIOGRAFI PEROWI
  2. Nama rowi      : An Nu’man bin basyir bin Sa’ad

Kalangan         : Sahabat

Kunyah           : Abu Abdullah

Negeri hidup   : Kufah

Wafat              : 65 H

Menurut ulama: dia seorang Sahabat

 

  1. Nama Rowi     : Amir bin Syarahil

Kalangan         : Tabi’in kalangan pertengahan

Kunyah           : Abu ‘Amru

Negeri Hidup  : Kufah

Wafat              :104 H

Pendapat Ulama: menurut abu zur’ah dia seorang yang tsiqah dan menurut Adz Dzahabi dia seorang tokoh.

 

  1. Nama Rowi     : Zakariya bin Abi Zaidah Khalid

Kalangan         : Tabi’in

Kunyah           : Abu Yahya

Negeri Hidup  : Kufah

Wafat              : 148 H

Pendapat Ulama: menurut Adz Dzahabi dia al hafidz, sedangkan menurut Al Bazzar dia seorang yang tsiqah.

  1.  Nama Rowi    : Al Fadlal bin Dukain bin Hammad bin Zuhair

Kalangan         : Tabi’it Tabi’in kalangan tua

Kunyah           : Abu Nu’aim

Negeri Hidup  : Kufah

Wafat              : 218 H

Pendapat ulama: menurut Abu Hatimar Razy dia seorang yang tsiqah, sedangkan menurut Adz Dzahabi dia seorang al hafidz.[2]

  1. KUALITAS HADIST

Dari hasil penelusuran yang di lakukan penulis, hadist Imam Bukhari ini berkualitas shahih karena telah memenuhi syarat hadis shahih dan tidak terdapat kecacatan pada sanad maupun perowinya.

  1. ASBABUL WURUD

Penulis tidak menemukan asbabul wurud dari hadis tersebut.

 

  1. TINJAUAN SAINS

            Hadist ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah, karena penyakit apapun apabila telah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh. Hal itu dikarenakan jantung berfungsi memompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru- paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru- paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian memompanya ke seluruh bagian tubuh. Jantung dalam hal ini mensuplai triliunan sel- sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari- sari makanan. Oleh karena itu, jika ia sampai rusak atau macet maka seluruh sel tubuh pun akan ikut rusak.

            Hati sebagai organ tubuh (jantung) merupakan organ vital di dalam tubuh manusia yang berbentuk bulat seperti buah pir, terdapat di dalam ruang dada, besarnya tilak lebih dari segenggaman tangan, berbobot tidak lebih dari 3 kilogram. Dalam satu menit jantung melakukan sekitar 70 denyutan atau detakan atau sekitar 100.000 denyutan dalam satu hari untuk memompa 5 liter darah dalam setiap detiknya atau 7200 liter dalam satu harinya melalui jaringan rumit yang terdiri dari pembuluh nadi, urat- urat, dan saluran kapiler darah yang panjangnya  mencapai ribuan km. Jaringan ini berfungsi menyalurkan dan mengalirkan darah bersih kepada setiap celah khidupan di dalam tubuh dan sekaligus membuang darah kotor.

            Sudah menjadi pengetahuan umum saat ini bahwa jika hati sehat, maka sirkulasi darah akan baik dan stiap sel hidup di dalam tubuh pun akan mendapatkan bagian darah yang membawa zat- zat makanan dan oksigen. Dengan oksigen ini, pembakaran zat- zat makanan menjadi sempurna dan menghasilkan energi dan kekuatan. Sebaliknya, ketika hati atau jantung menderita suatu penyakit atau bahkan rusak, maka sirkulasi darah juga mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali sehingga proses distribusi zat- zat makanan dan oksigen ke seluruh bagian tubuh akan mengalami gangguan, bahkan tidak berjalan sama sekali.

            Namun, Imam al Ghazali mengartikan hati disini sebagai organ maknawi, bukan memahami hati dalam dimensi fisik. Menurutnya, hati merupakan pilar perasaan, keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, akhlak, dan budi pekerti. Sehingga jika ia baik dan shaleh, maka baik dan shaleh pula seluruh tubuhnya, namun jsika ia rusak dan buruk, maka rusak dan buruk pula seluruh tubuhnya.[3]

            Hati merupakan bagian anggota atau organ tubuh manusia yang memiliki peranan yang sangat penting. Hati bekerjasama dengan organ ginjal dan organ tubuh lainnya yang masih satu jaringan sel dengan organ tubuh lainnya. Hati berasal dari bahasa Yunani : ἡπαρ, hēpar yang merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di dalam rongga perut sebelah kanan tepatnya terletak di bagian bawah Diafragma.

Gambar Skema Organ Hati Manusia

Hati berdasarkan fungsi termasuk organ tubuh yang berguna sebagai alat untuk eksresi atau membantu organ tubuh lainnya untuk pembuangan sisa-sisa makanan dan zat yang tidak diperlukan tubuh yang kemudian tersimpan dan terbuang melalui anus. Hati merupakan organ tubuh manusia yang memiliki peranan penting dalam organ tubuh manusia lainnya seperti ginjal yang berfungsi sebagai alat pemecah beberapa senyawa yang bersifat atau yang mengandung toksin atau racun dan menghasilkan amonia, urea dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.

Hati juga disebut sebagai organ tubuh manusia paling besar yang memiliki berat sekitar 2 kg yang memiliki banyak fungsi. Hati berfungsi dan memiliki peranan untuk mengatur lemak yang masuk dalam tubuh yang berasal dari berbagai jenis makanan, mengatur gula dan protein dalam darah. Hati juga mempermudah sistem metabolisme dan sistem pencernaan tubuh untuk menguraikan dan membuang racun dari dalam tubuh yang mengendap di dalam darah yang kemudian dikeluarkan melalui feses.

Hati memiliki banyak fungsi dan peranan yang besar yang juga dilakukan oleh hepatosit. Fungsi dan kinerja hati atau liver tidak dapat digantikan dengan fungsi organ tubuh lainnya. Namun beberapa fungsi dari hati dapat digantikan peranannya melalui proses dialisis hati, yang menggunakan teknologi canggih dan modern, namun saat ini proses dialisis hati masih terus dikembangkan yang diperuntukkan hanya sebagai perawatan untuk penderita gagal hati.

Hati yang memiliki banyak komponen kelenjar pendukung fungsi hati menghasilkan :

– Hati juga membantu empedu untuk menghasilkan cairan empedu atau cairan limpa hingga mencapai 1/2 liter setiap harinya. Warna cairan empedu ini berwarna kehijauan dan terasa pahit yang berasal hemoglobin (sel darah merah) yang sudah tua yang disimpan lama didalam kantung empedu atau dieksresikan ke duodenum.

Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin dan biliverdin. Sekresi empedu berfungsi sebagai pencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus dan mengubah zat yang tidak dapat larut dalam air menjadi zat yang mudah larut dalam air. Apabila terjadi penyempitan atau penyumbatan pada saluran empedu kemudian cairan empedu masuk ke peredaran darah yang bercampur dengan darah asli kemudian warna kulit akan terlihat seperti warna kuning. Jika seseorang mengalami hal demikian disebut dengan penyakit kuning.

– Sebagian hati mengandung asam amino

– Faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI

– Protein C, protein S dan anti-trombin

– Kalsidiol

– Trigliserida melalui lintasan lipogenesis. Trigliserida (atau lebih tepatnya triasilgliserol atau triasilgliserida) adalah sebuah gliserida, yakni perambahan dari gliserol dan 3 jenis asam lemak. Trigliserida merupakan penyusun utama minyak nabati dan lemak hewani. Rumus kimia trigliserida adalah CH2COOR-CHCOOR’-CH2-COOR”, dimana R, R’ dan R” masing-masing adalah sebuah rantai alkil yang panjang. Ketiga asam lemak RCOOH, R’COOH and R”COOH bisa jadi semuanya sama, semuanya berbeda ataupun hanya dua diantaranya yang sama.

– Kolesterol

– Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1), yang merupakan susunan dalam sebuah polipeptida yang memiliki peranan besar dalam meningkatkan dan memaju pertumbuhan tubuh ketika masa kanak-kanak dan tetap memiliki efek anbolik pada orang dewasa.

– Enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.

– Trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping darah oleh sumsum tulang belakang.

– Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel darah merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu mengambil alih tugas ini.

– Albumin yang merupakan perangkat osmolar pada plasma darah. Albumin dalam bahasa latin disebut albus atau white yang merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk ke segala jenis protein monomer yang mudah larut dalam air dan larutan garam dan mengalami koagulasi saat terpapar panas. Substansi yang mengandung albumin, seperti putih telur, disebut albuminoid. Albumin pada organ hati manusia dihasilkan dari retikulum endoplasma di dalam hati dalam bentuk proalbumin yang kemudian dibagi kembali oleh Badan Golgi untuk disekresi yang memenuhi sekitar 60% jumlah serum darah dengan kefokusan antara 30-50 g/L dengan waktu sekitar 20 hari. Albumin memiliki berat molekul sekitar 65 kD yang terdiri dari 584 asam amino tanpa kandungan karbohidrat.

Fungsi dan kerja hati dalam tubuh manusia, adalah sebagai berikut :

1. Menyaring darah

2. Membuat empedu dan menghasilkan cairan empedu yang membantu prose pencernaan dalam penyerapan lemak.

3. Hati befungsi sebagai alat organ tubuh untuk memproses, mengolah dan mengikat lemak pada protein termasuk kolesterol. Gabungan lemak dengan protein disebut lipoprotein yang didalamnya terdapat Chylomicron, VLDL, LDL, HDL guna untuk menyimpan gula dan membantu tubuh untuk mengangkut dan menghemat energi.

4. Membuat protein-protein penting, seperti kebanyakan yang terlibat pada pembekuan darah

5. Membantu tubuh dalam penyerapan dan mengolah banyaknya obat-obatan yang masuk dalam tubuh ketika sakit. Contoh seperti obat dengan jenis barbiturates, sedatives, dan amphetamines

6. Hati dijadikan tempat untuk menyimpan berbagai macam kandungan vitamin dan zat lainnya seperti besi, tembaga, vitamin A dan D, dan beberapa dari vitamin B

7. Hati menghasilkan protein-protein penting seperti albumin yang berfungsi sebagai pengendali cairan didalam darah dan ginjal.

8. Hati berfungsi sebagai alat pembantu organ tubuh untuk mengolah kembali sel-sel darah merah.

Oleh karenanya penting bagi kita untuk senantiasa menjaga hati atau liver. Apabila hati mengalami peradangan dan terinfeksi, maka kemampuan dan kinerja dari fungsi hati akan menurun dan melemah.[4]

 

 

 

 

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Tentang Fahsya

 Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Tentang Fahsya

  1. Pengertian

Dalam bahasa Indonesia, fahsya’ seringkali diartikan dengan keji (perbuatan keji). Adapun dalam kamus besar bahasa Indonesia sendiri arti dari keji adalah “sangat rendah” (kotor, tidak sopan, dsb).[1] Sedangkan dalam kitab tafsir Al-Jalalain disebutkan bahwasanya fahsya’ adalah suatu hal yang jelek secara syara’.[2]

Fahsya’ adalah ism yang diambil dari fahusya. Selain dengan kata ini, al-Qur’an juga sering menyebut kata fahisyah dan fawahisya sebagai bentuk jamaknya. Baik fahisyah maupun fahsya’, keduanya sama-sama mashdar. Al-Qur’an memakai keduanya, juga al-fawahisy tidak selalu beriringan, bahkan seringkali di tempat yang berbeda. Namun, di samping itu, menurut al-Ashfahani, tetap mempunyai arti yang sama, yakni sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikan, baik dalam bentuk perkataan ataupun perbuatan.[3]

Dalam kitab tafsir Ath-Thabari juga disebutkan tentang kata fahsya, yangmana dalam pengertiannya menunjukan arti zina. Sebagaiaman yang terdapat suatu riwayat berikut:

حدثني موسى بن هارون قال، حدثنا عمرو قال، حدثنا أسباط، عن السدي:”إنما يأمركم بالسوء والفحشاء”، أمّا”السوء”، فالمعصية، وأما”الفحشاء”، فالزنا.[4]

                        Makna lafad fahasya dengan berbagai bentuknya, baik fahsya’, maupun fahisyah yang disebut dalam al-Qur’an mengarah pada kekotoran, kecurangan, pelanggaran, dan sejenisnya. Bias dikatakan juga bahwa ia adalah perbuatan yang telh keluar dari norma manusia dan hukum syara’ yang ditetapkan Allah.[5]

                        Semua perbuatan keji ini adalah setan yang senantiasa berusaha menjerumuskan manusia pada jurang kehancuran dengan berbagai cara; kemaksiatan, kekikiran, dan segala hal yang diharamkan syara’.[6]

  1. Al-Qur’an berbicara tentang Fahsya’

Fahsya’, dengan segala bentuk derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali dalam 15 surat. Yaitu, QS. Al-Baqarah: 169, 268; QS. Ali Imran: 135; QS. Al-Nisa’: 15, 19, 22, 25; QS. Al-An’am: 151; QS. Al-A’raf: 28, 33, 80; QS. Yusuf: 24; QS. Al-Nahl: 90; QS. Al-Isra’: QS. Al-Nur: 19, 21; QS. Al-Naml: 54; QS. Al-Ankabut: 28, 45; QS. Al-Ahzab: 30; QS. Al-Syura: 37; QS. Al-Najm: 32; QS. Al-Thalaq: 1.[7] Namun, dalam pembahasan ini akan disebutkan ayat-ayat sebagai berikut;

 

  • Al-Baqarah: 168-170

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (١٦٩َإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ (١٧٠)

168. Wahai manusia! Makanlah yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.

169. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahatdan keji dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah

170. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”

a. tafsir Mufradat

الحلال                : apa yang terlepas dari ikatan bahaya, yaitu apa yang diizinkan oleh Allah untuk memanfaatkannya.

الطيب                 : sesuatu yang suci bersih dan tidak najis, tidak jorok yang menyebabkan hati jijik.

خطوات الشيطان   : bentuk jama’ dari khuthwah, yaitu jarak antara dua kaki orang yang berjalan, maksudnya adalah langkah- langkah setan dan jalan- jalannya yang bisa mengantar seseorang melakukan tindakan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang di halalkanNya.

عدو مبين             : musuh yang jelas, karena dialah yang menyebabkan keluarnya Adam dan hawa dari surga, dan kebanyakan kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini disebabkan karena gangguan dan godaannya.

السوء                 : segala yang merusak diri dan menyebabkan kesedihan dan keresahan padanya, termasuk semua bentuk dosa.

الفحشاء              : setiap perilaku yang jahat seperti: zina, homo sex, kikir, dan segala macam kemaksiatan yang merupakan kejahatan berat.

الفينا                   : kami dapatkan. [8]

b. Tafsir Ayat[9]

            Setelah pemaparan tentang kondisi orang- orang musyrik dan pelaku kemaksiatan yang berakhir dengan kepahitan yaitu kekal dalam siksa api neraka, Allah menyeru kepada mereka dengan berfirman, “wahai manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,” yaitu pemberian dari Allah sesuatu yang halal, baik dan diizinkanNya. Adapun yang tidak diizinkan maka itu tidak baik untuk dikonsumi oleh mereka karena mengandung unsur yang membahayakan bagi fisik dan jiwa manusia. Allah kemudian melarang mereka untuk mengikuti langkah- langkah musuhNya dan musuh mereka, karena bila mereka lakukan itu akan membawa mereka kepada kebinasaan dan kesengsaraan. Dia pun memberitahukan kepada mereka bahwa setan tidak memerintahkan sesuatu kecuali apa yang membahayakan badan dan jiwa mereka. As-suu’ (kejelekan) adalah segala yang merusak jiwa, sedang al- fahsya’u adalah perbuatan dan perilaku keji, dan lebih jahat dari semua itu adalah perintah untuk berbohong kepada Allah, yaitu mengatakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi oleh ilmu pengetahuan, dengan menghalalkan, mengharamkan, dan mensyariatkan sesuatu atas nama Allah, padahal Allah sama sekali jauh dari hal itu. Ini merupakan bencana besar –naudzu billah mindzalik-. Setelah mereka berpaling dari bimbingan Allah, dan mengikuti langkah- langkah setan yang merupakan musuh mereka, maka mereka berbuat jahat dan keji, menghalalkan, mengharamkan, dan mensyariatkan apa yang tidak diizinkan oleh Allah.tatkala Rasulullah berkata kepada mereka “ikutilah apa yang telah Allah turunkan.” Mereka malah berkata, “kami hanya mengikkuti apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami.” Maha suci Allah, apakah mereka senantiasa mengikuti nenek moyang mereka yang jelas- jelas berada dalam kebatilan dan kesesatan? Apakah mereka akan bertaklid buta kepada nenek moyang mereka, walaupun nenek moyang mereka itu tidak memahami sedikitpun urusan syariat dan agama, serta tidak mengetahui jalan kebenaran yang menghantarkan kepada kebaikan dan kebahagiaan?

 

 

  • QS. Al-An’am : 151

 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami”.

 

  1. Tafsir mufrad

اتل                    : Bacalah

من املق              : karena miskin

الفوحش              : al fawaahisya adalah bentuk jama’ dari kata faahisyah, yaitu semua yang jelek dan sangat buruk seperti zina dan kikir.

حرم الله              : allah mengharamkan membunuh jiwa kecuali jiwa orang kafir yang memerangi orang Islam, dan juga jiwa orang murtad.

بالتى هى احسن     : yakni kecuali dengan cara yang lebih baik

اشده                   :masa baligh serta akal yang sehat

الا وسعها                        : sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya

تذكرون               : kalian ingat, kemudian kalian dapat mengambil pelajaran.[10]

  1. Tafsiran ayat[11]

Ayat ini memerintahkan Rasulullah SAW mengajak untuk meninggalkan posisi yang rendah dan hina yang tercermin pada kebejatan moral dan penghambaan diri kepada selain Allah, menuju ketinggian derajat dan keluhuran budi pekerti; Terdapat lima hal:

  1. Dan paling utama adalah janganlah kamu mempersekutukan sesuatu denganNya., sesuatu dan sedikit persekutuanpun.
  2. Setelah menyebut causa prima, penyebab dari segala sebab wujud, dan sumber dari segala nikmat, disebutnya penyebab perantara yang berperanan dalam kelahiran manusia, sekaligus yang wajib disyukuri, yakni ibu bapak, karena itu disusulkan dan dirangkaikannya perintah pertama itu dengan perintah ini, dalam makna larangan mendurhakai mereka.
  3. Setelah menyebut sebab perantara keberadaan manusia di pentas bumi, dilanjutkanNya dengan pesan berupa larangan menghilangkan keberadaan itu yakni, dan janganlah kamu membunuh anak- anak kamu karena kamu sedang ditimpa kemiskinan dan mengakibatkan kamu menduga bahwa bila mereka lahir kamu akan memikul beban tambahan. Namun jangan khawatir, karena Allah menyiapkan rizki bagi semuanya, yang penting berusaha untuk mendapatkannya.
  4. Janganlah kamu mendekati perbuatan- perbuatan yang keji, seperti membunuh dan berzina baik yang nampak diantaranya,  yakni yang dilakukan secara terang- terangan, maupun yang tersembunyi, seperti memiliki pasangan “simpanan” tanpa diikat oleh akad nikah yang sah.
  5. Jangan kamu membunuh jiwa yang memang  diharamkan Allah membunuhnya kecuali berdasar sesuatu sebab yang benar, yakni berdasarkan ketetapan hukum yang jelas. Demikian itu yang diperintahkanNya,yakni oleh Tuhan dan nalar yang sehat kepada kamu supaya kamu memahami dan menghindari larangan- larangan itu.

 

  1. Indikasi kata Fahsya’[12]

Terdapat sembilan ayat dalam Al Qur’an yang terdapat kata fahsya’ dengan segala bentukannya selalu berorientasi kepada kejahatan seks atau penyimpangan seks.

  • Zina

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra’:32)

  • Inzes

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An Nisa’:22)

  • Homoseksual

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (Al A’raf:80)

  • Selingkuh

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (An Nisa’:15)

  • Tidak memakai baju ketika thawaf

وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.” (al A’raf:28).

            Dalam hemat penulis, dapatlah diambil kesimpulan mengapa dalam pengertian yang telah dijelaskan di awal pembahasan bahwasanya fahsya’ dalam berbagai kitab tafsir, seperti misalkan dalam kitab tafsir Ath-Thabari, diartikan sebagai zina. Hal tersebut boleh jadi karena adanya berbagai ayat yang menunjukan bahwa fahsya’ mengarah pada perbuatan zina. Akan tetapi secara lebih luasnya, sebetulnya fahsya’ tidaklah hanya mengacu pada pengertian zina saja, namun masih terdapat banyak pengertian yang lain, sebagaimana seperti yang telah dijelaskan dalam tafsir Al-Jalalain bahwa fahsya’ meliputi hal yang jelek secara syara’.

 

  1. Solusi yang ditawarkan Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama yang mendasari setiap tingkah laku dan tindakan. Ia harus diimanai dan diaplikasikan dalam kehidupan. Karenanya, tidak berlebihan kiranya jika selama ini umat muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan yang terkandung, akan tetapi juga menjaga otentisitasnya.

Dalam hal ini, di samping al-Qur’an membicara tentang fahsya’, al-Qur’an juga membicara akan solusi yang ditawarkan dari perbuatan fahsya’ itu sendiri. Setidaknya terdapat dua solusi yang termuat, yakni solusi bagi yang terlanjur jatuh ke dalam perbuatan fahsya’ ataupun sebagai antisipasi terhadap perbuatan tersebut agar supaya tidak terjerumus ke dalam perbuatan itu.

Adapun sebagai antisipasi, al-Qur’an telah memberikan resep yang jitu yang dapat kita lakukan sebagai upaya untuk menghindari perbuatan fahsya’. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Ankabut: 45;

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7ø‹s9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4‘sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  

bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

            Sedangkan sebagai solusi terhadap perbuatan fahsya’, yangmana sudah terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan tersebut, dalam hal ini disebutkan dalam QS. Ali Imran: 135-136;

šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó™$$sù öNÎgÎ/qçRä‹Ï9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR—%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#r•ŽÅÇム4’n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ   y7Í´¯»s9ré& Nèdät!#t“y_ ×otÏÿøó¨B `ÏiB öNÎgÎn/§‘ ×M»¨Yy_ur “̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻pk÷XF{$# šúïÏ$Î#»yz $pkŽÏù 4 zN÷èÏRur ãô_r& tû,Î#ÏJ»yèø9$# ÇÊÌÏÈ

 

135. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

136. mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah Sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.

 

 

 

PENUTUP

 

 

  1. Kesimpulan

Terdapat perbedaan dalam pemberian definisi mengenai fahsya’. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa fahsya’ ada yang mengartikannya sebagai perbuatan zina, dan ada juga yang memandang lebih luas dari itu, yakni setiap perbuatan yang jelek menurut syara’ maka itulah sejatinya fahsya’. Dalam hal ini, jika fahsya’ dibenturkan dalam pengertian yang kedua, maka setiap perbuatan yang jelek adalah bagian dari fahsya’, baik itu fasad, munkar, dll.

Dari penafsiran ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, terlihat bahwa teks ayat tersebut berisikan larangan keras kepada kita untuk supaya tidak sampai melalkukan perbuatan fahsya’ karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan setan yang mendorong kita untuk melakukannya.

Perbuatan fahsya’ sangatlah merugikan, tidak hanya merugikan pada diri kita sendiri akan tetapi juga membawa kerugian pada yang lain. Dengan adanya teks al-Quran yang secara tegas melarang untuk berbuat fahsya’, maka sebagai mafhum mukholafahnya adalah kita wajib untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan bijaksana yangmana tidaklah menimbulkan kehinaan pada diri kita.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 


[1] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).

[2] Software Al-Maktabah Asy-Syamilah, Tafsir Al-Jalalain.

[3] Dikutip dari makalah M. Miski, dkk, Konsep Fahsya’ Menurut Al-Qur’an, (Yogyakarta: makalah tidak diterbitkan), hlm. 6.

[4] Software Al-Maktabah Asy-Syamilah, Tafsir Ath-Thobari.

[5] Dikutip dari makalah M. Miski, dkk. Op. Cit.

[6] Lihat, Al-Baiquni, dkk. Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2005), II, hlm. 6-9. Sebagaimana dikutip dalam makalah M. Miski, dkk. Op. Cit.

[7] M. Miski, dkk. Op. Cit.

[8] Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi Tafsir Al Qur’an Al Aisar, terj, jld 1, (Jakarta: Darus Sunnah, 2006).

[9] Ibid

[10] Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi Tafsir Al Qur’an Al Aisar,terj, jld 2, (Jakarta: Darus Sunnah, 2006).

[11] Ibid

Mukhtalif Hadist

Mukhtalif Hadist

Terkadang para muhadditsin menyebut mukhtalif al hadits dengan musykil al hadits, yaitu hadist- hadist yang lahirnya bertentangan dengan kaidah- kaidah yang baku sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nashsh syara’ yang lain.[1]

Dalam beberapa mukhtalif ini, pembanding dalam menilai pertentangan ini tidak hanya terdapat antar hadist saja, namun terkadang hadist dengan al Qur’an, dan hadist dengan logika. Untuk memperjelas dapat di lihat pada beberapa contoh di bawah ini:

  1. Hadist Yang Bertentangan Dengan Ayat Al Qur’an

 

            ان الله تعالى مسح على ظهر ادم عليه السلام واخرج منه ذريته الى يوم القيامة امثل الذر واشهدهم على انفسهم الست بربكم ؟ قالوا : بلى

      “sesungguhnya Allah SWT mengusap punggung Nabi Adam AS, dan mengeluarkan keturunannya sampai hari kiamat seperti buah jagung dan memberi kesaksian pada diri mereka apakah aku adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab: Tentu.”

 

Hadist ini bertentangan dengan firman Allah SWT,

 

واذ اخذ ربك من بنى ادم من ظهورهم ذريتهم واشهدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى

“(dan ingtlah) ktika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘bukankah aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab, ‘betul (engkau Tuhan kami)’.” (Q.S. Al A’raf [7]: 172)

Karena hadist nabi mengabarkan bahwa keturunan nabi Adam diambil dari punggung nabi Adam sementara Al Qur’an memberitahukan bahwa keturunan nabi Muhammad diambil dari punggung Bani Adam.

Menurut Abu Muhammad, hal tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama, di mana keduanya benar, karena Al Qur’an datang membawa firman Allah SWT yang bersifat global kemudian hadist yang memerincinya.

Maksud dari hadis dan ayat di atas adalah bahwa Allah SWT saat mengusap punggung Nabi Adam As, lalu Adam mengeluarkan keturunannya darinya seperti buah jagung sampai hari kiamat. Dan dari keturunan Nabi Adam itulah terdapat anak- anak, cucu dan cicit sampai hari kiamat.

  1. Dua Hadist Yang Kontradiktif

Mereka (Ahlul Mutakalimin) berkata: kalian meriwayatkan hadist, bahwa Rasulullah SAW brsabda,

 

لا تستقبلوا القبلة بغائط ولا بول

“janganlah kalian menghadap kiblat saat membuang air besar dan membuang air kecil.”[2]

Kalian juga meriwayatkan hadist dari Isa bin Yunus, dari Abu Amanah dari Khalid Al Hadza dari Arak bin Malik dari Aisyah RA, sesungguhnya ia berkata,

 

ذكر لرسول الله صلى الله عليه وسلم ان قوما يكرهون ان يستقبلوا القبلة بغائط او بول فامر النبي صلى الله عليه بخلائه فاستقبل به القبلة

“Dikemukakan kepada Rasulullah bahwa ada suatu kaum yang tidak suka menghadap kiblat saat membuang air besar dan air kecil, lalu Nabi Muhammad SAW memerintahkannya di tempat buang hajatnya (WC), dengan tetap menghadap kiblat.”[3]

Hal ini bertentangan.

Menurut Abu Muhammad, hadis ini boleh saja termasuk dalam nasikh mansukh karena keduanya memiliki hukum yang berlawanan, yang pertama di larang dan yang kedua justru diperintahkan. Namun, Abu Muhammad tidak menggunakannya karena menurutnya hadist ini berbeda karena dipahami sesuai konteksnya.

Tempat yang tidak boleh menghadap kiblat bagi orang yang membuang air besar dan air kecil adalah padang pasir dan Al Bararah[4]

 

من هم بحسنة ولم يعمله كتبت له حسنة واحدة ومن عمله كتبت له عشر

“Barang siapa yang ingin melakukan kebaikan dan ia tidak melakukannya, maka ditulis baginya satu kebaikan, dan barang siapa melakukannya maka ditulis sepuluh kebaikan.”(HR. Ahmad)

Hadis tersebut bertentangan dengan riwayat berikut,

 

نية المرء خير من عمله

“Niat seseorang lebih baik dari perbuatannya.”

Dengan demikian, niat pada hadits yang pertama bukan merupakan perbuatan dan pada hadits kedua lebih baik dari perbuatan. Dua hadits ini berbeda dan bertentangan.

Menurut Abu Muhammad, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan dalam hal ini.

Orang yang ingin melakukan kebaikan, jika ia tidak melakukannya maka ia berbeda dengan yang melakukannya, karena orang yang hanya niat saja tidak melakukan hingga ia memiliki keinginan dan melakukan.

Sedangkan hadits kedua, sesungguhnya Allah mengekalkan orang mukmin di dalam surga dengan niatnya bukan dengan amalnya.

Kenapa Allah mengekalkan seseorang dengan niatnya? Karena niat untuk taat kepada Allah selamanya jika ia diizinkan oleh Allah, ketika Allah mematikannya tanpa mematikan niatnya, maka Allah memberikan ganjaran atas niatnya tersebut.

Begitu juga dengan orang kafir, niatnya lebih buruk dari perbuatannya, karena sesungguhnya orang kafir berniat untuk tetap dalam kekafirannya jika dia diberi kesempatan untuk itu, ketika Allah mematikannya tanpa mematikan niatnya, maka Allah memberikan ganjaran atas niatnya tersebut.[5]

Kesimpulan kajian para Imam dan tokoh kritikus hadits secara umum adalah bahwa mereka membagi hadits yang mengandung problem ini menjadi dua kelompok:

  1.  kelompok hadits- hadits yang dapat dikompromikan dan di ambil titik temunya.[6] Problem pada kasus ini terdapat pada segi pemahaman yang saling berbeda.
  2. 2.       kelompok hadits- hadits mukhtalif yang sama sekali tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat diambil titik temunya.[7]

 Hadist kelompok ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, satu dari hadits yang bertentangan itu merupakan nasikh sedangkan yang lain adalah mansukh, maka nasikh diamalkan dan mansukh ditinggalkan. Kedua, tidak ada tanda dan petunjuk bahwa salah satu riwayat itu merupakan nasikh dan yang lain mansukh. Maka jalan penyelesaiannya adalah dengan ditarjih. Lalau di amalkan hadits yang lebih kuat karena lebih banyak rawi (sanad
)-nya, atau rawinya lebih tinggi daya hafalannya atau lebih banyak menyertai gurunya. Yang penting memiliki kelebihan dalam banyak hal yang dipertimbangkan dalam tarjih.[8]

Penyelesaian Pertentangan  hadits
Menurut pendapat ‘ulama jumhur adalah dengan menggunakan beberapan hal berikut :
a.         Memakai teori Al-Jam’u baina Al-Hadits, yakni menkompromikan kedua yang bertentangan tersebut, hal ini dikarenakan diantara keduanya tidak bisa lepas dari kemungkinan antara ke-umuman dan ke-khususan, mutlaq dan muqayyad, serta mujmal dan mubayyan.
b.         Memakai teori Al-Naskh atau menggugurkan dalil satu dengan dalil lain, hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan teori Al-Jam’u, teknisnya adalah dengan menulusuri waktu munculnya (Wurud Al-Hadis) agar diketahui hadis mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka kemudian yang akhir dianggap telah merusak/menghapus (Al-Nasikh) terhadap hadis yang pertama.
c.         Memakai teori Al-Tarjih. hal ini dilakukan ketika dua teori diatas tidak memungkinkan, yakni dengan menguatkan satu diantara keduanya tersebut dengan memandang sudut pandang masing-masing kekuatan dari dalil, bukan semata-mata hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i memberikan arahan dan penjelasan : termasuk dari menggunakan teori Al-Tarjih adalah bahwasanya diantara kedua hadis tersebut tidak bisa lepas dari kemungkinan paling mendekati pada Al-Qur’an, atau paling mendekati dengan sunah-sunah Nabi SAW., selain dua hadis yang mukhtalaf tersebut, atau lebih mendekati pada Qiyas, maka menurutku hadis itulah yang saya menangkan.

d.         Memakai teori Al-Tawaqquf. Teori ini digunakan apabila ketiga cara diatas sudah tidak memungkinkan, teori ini berlaku sampai ditemukan dalil lain yang mendukung.
Dalam konteks ini Imam Al-Syatibi berpendapat bahwa ma-mauquf-kan keputusan ketika tidak dimungkinkan tarjih adalah menjadi hukum wajib. Senada dengan Imam Al Syatibi adalah Imam Al-Sakhowi, ia mengatakan bahwa melakukan tawaqquf lebih utama daripada melakukan pengguguran (tasaqquth) dalil, karena kesamaran pemahaman terhadap dalil itu terjadi pada seseorang pada waktu saat itu, padahal ada kemungkinan hal tersebut tidak samar lagi bagi seseorang lain, karena diatas orang ‘alim ada orang yang lebih alim.[9]

  1. Hadits Yang Ditolak Oleh Logika

Mereka (Ahlul Mutakalimin) berkata: Kalian meriwayatkan hadits dari Abdul Aziz bin bin Al Mukhtar Al Anshari dari Abdullah Ad-Danaj, ia berkata: Aku menyaksikan Abu Salamah bin Abdurahman di dalam masjid yang ada di Basrah. Hasan datang kemudian ia duduk dekatnya. Diceritakan dari Abu Hurairah dari nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

 

ان الشمش والقمر ثوران مكوران فى النار يوم القيامة

“Sesungguhnya matahari dan remblan merupakan dua sapi yang hitam di neraka jahanam di hari kiamat.”(HR. Muslim)

Al Hasan berkata,”Apa dosa keduanya?”

Dia berkata, “Sesungguhnya aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah SAW,” lalu dia terdiam,

Hasan telah benar (apa dosa keduanya).

Ini adalah pendapat Al Hasan yang merupakan jawaban atasnya atau atas Abu Hurairah.

Menurut Abu Muhammad matahari dan rembulan tidak disiksa di neraka saat keduanya dimasukan ke dalamnya, lalu dikatakan apa dosa keduanya? Akan tetapi keduanya diciptakan dari neraka kemudian dikembalikan kepadanya.

Rasulullah bersabda mengenai matahari-saat ia tenggelam-di dalam api Allah SWT yang menyala- nyala, “Seandainya Allah SWT tidak mencegahnya, maka niscaya akan binasa apapun yang berada di atas bumi.”[10]

Sesuatu yang berasal dari neraka, niscaya ia dikembalikan ke neraka Rasulullah SAW tidak bersabda bahwa ia disiksa.   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

            Dapat kita ambil kesimpulan, bahwasannya hadits tidak cukup dipahami begitu saja, karena hal tersebut dapat mengakibatkan kesalah fahaman.

            Dari uraian di atas dapat di ambil pelajaran bahwasannya dalam memahami sesuatu tidak cukup dengan melihat secara tekstual saja, namun perlu melihat makna- makna tersirat dan segi yang lainnya. Mungkin kita pernah membaca sabda Nabi SAW yang secara sekilas seperti tidak pas, dalam hal ini kita tidak boleh gegabah dalam mengambil dan menyimpulkan pemahaman.

           


[1] Dr. Nuruddin ‘Itr , Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012, hlm. 350

[2] HR. Al Baihaqi dalam As Sunah Al Kubra 991/1), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (57), Abu Awanah dalam Al Musnad (199/1) dan Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari (177/10).

[3] HR. Imam Ahmad dalam Al Musnad (183/6)

[4] Al Bararah adalah tempat- tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.

[5] Qutaibah, Ibnu. Ta’wil Hadits- Hadits Yang Dinilai Kontradiktif. Jakrta: Pustaka Azzam. 2008.hlm. 247-248.

[6] Dr. Nuruddin ‘Itr , Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012, hlm.351-352

[7] Ibid.

[8] Al Hazimi menyebutkan segi- segi dalam tarjih sebanyak 50 segi dalam kitab al- i’tibar hlm 11-17, al Irqani 100 segi lebih, al Suyuthi mengelompokkan kepada 7 macam dalam al Tadrib hlm 288- 291.

[9] file:///C:/Users/userfriendly/Downloads/mukhtalif-al-hadits.html

[10] HR. Ahmad dalam Al Musnad (207/2)